Rabu, 20 Januari 2016

Ketika Mas Gagah (Tak Harus) Pergi






Detak waktu seakan enggan tuk bertambah..
Menemani gelisahku di malam ini..
Benarkah Tuhan ia kini telah pergi..

Lagu tema film “Ketika Mas Gagah Pergi” mengalun manis di telinga. Salah satu penanda bahwa kisah legendaris itu telah rampung dan siap dinikmati para “Pemuja”nya. Bagaimana tidak legendaris ketika begitu banyak orang memperoleh jalan hidayah karenanya. Termasuk diri saya sendiri yang juga memperoleh pencerahan dari kisah yang begitu mempesona.

Tapi ada satu hal yang sempat mengganjal di benak saya. Apakah orang seperti saya bisa jadi tegar dan bijak seperti Mas Gagah yang digambarkan dalam cerpen itu? Yang bisa mendakwahi adiknya sendiri dengan begitu lembut dan bijaksana karena saya sendiri juga memiliki masalah yang hampir sama. Dan masalah itu adalah adik perempuan saya yang bandel, pembangkang dan suka membuat masalah dimana-mana. Bahkan kalau boleh dikata, mungkin jauh lebih parah dari tokoh bernama Gita.

Terkadang sempat bertanya, apakah saya harus pergi dahulu seperti Mas Gagah agar adik perempuan saya juga mendapat hidayah? Apakah saya harus mati dahulu agar adik perempuan saya mendapatkan kesadaran sepenuhya?
Di balik sikap saya yang cuek, selalu ceria dan supel ke orang selama ini sebenarnya saya menyembunyikan kegundahan. Gundah yang kian menggunung dan tak tahu kapan meledaknya jika mengingat adik perempuan saya yang nomer tiga.
Anna. Itulah nama cantik yang diberikan padanya. Nama yang penuh harapan doa agar dia kelak menjadi perempuan yang tak hanya cantik zahir tapi juga batinnya. Namun doa terkadang tak langsung dikabulkan. Keinginan pun tak serta-merta kesampaian. Akan selalu ada aral melintang di antara ikhtiar dan cobaan.
Saat TK anak itu sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kebengalannya. Sudah tak pernah mau memakai rok lagi di rumah. Hanya memakai rok di sekolah. Gaya, sikap dan watak pun sudah mulai tomboi dan berperilaku seperti anak lelaki kebanyakan. Tak pernah kami mendapatinya pulang dari sekolah dalam keadaan menangis karena diganggu temannya. Justru kami malah mendapatkan laporan dari tetangga yang kurang lebih bernada sama, “Tadi adikmu habis memukul temannya.”, “Anaknya pak Nyoto tadi dicakar adikmu sampai menangis.” Jadi justru dialah yang menjadi pembuat masalah di sekolah. Kami hanya bisa memintakan maaf ke para korban dan mengharap maklum karena di antara 3 bersaudara dia sendiri yang perempuan. Lainnya laki-laki semua dan mungkin saja sikapnya jadi terbawa-bawa.
Di SD anak itu mulai membuat genk dengan teman-temannya sekelas. Dia ketuanya. Mungkin terpengaruh sinetron di televisi saat itu. Karena siaran tivi kian hari memang semakin tak mendidik. Dan naasnya saya saat itu harus berpisah darinya karena harus melanjutkan studi saya ke kota Malang. Pulang kampung pun jarang jadi tak begitu mengikuti perkembangan kesehariannya.
Sampai suatu ketika saya mengetahui ternyata di rumah anak itu semakin bengal dan mulai membangkang ke orangtua. Sudah tak bisa biberitahu lagi meskipun masih pada usia sekolah dasar. Mungkin salah satu sebabnya karena bapak saya terlalu keras padanya. Dan dia tipe tak bisa dikerasi.
Di sekolah sering sekali membuat masalah. Entah itu pertengkaran dengan temannya, membuat gaduh di kelas, menyepelekan gurunya dan segala macam. Dan itu membuat citranya di sekolah menjadi buruk. Bahkan ketika terjadi masalah apapun setelah itu, meskipun dia tak salah akhirnya jadi dipersalahkan.
Anak itu cerdas sekali sebenarnya. Setiap belajar sesuatu bisa menguasainya dengan sangat cepat. Guru-gurunya mengakui hal itu. Seperti saat komputer-komputer sekolah rusak semua sistemnya, ternyata anak itu bisa memperbaiki semuanya dan tak ada yang tahu dia belajar dari mana. Hanya saja mereka menyayangkan, “Emane ora isoh dipaku” yang artinya, sayang tak bisa dikendalikan.
Soal prestasi akademik jangan ditanya. Semua jeblok nilainya. Sebenarnya bukan karena dia bodoh, tapi karena dia malas mengerjakan. Guru-guru pun tak ada yang minat memberikan mandat untuk mengikuti perlombaan dan sebagainya. Sampai suatu ketika, guru-guru di sekolahnya termaksa mengajukan dia untuk ikut lomba Mocopat Islami sekaresidenan Surakarta. Denga setengah hati tentunya karena mereka sudah pesimis dengan kemampuan anak ini. Tapi siapa sangka, babak demi babak dimenangkan dan bahkan meraih gelar juara umum.
Guru-guru di sekolahnya akhirnya mulai memperhitungkan anak ini. Ibu dan bapak terharu, saya pun turut terharu saat mendengar kabarnya meskipun dari kejauhan. Sayang sistem pendidikan di Indonesia saat ini belum mendukung anak-anak berbakat khusus. Masih dipukul rata dengan paksaan untuk menguasai segala macam pelajaran dari berbagai bidang.
Pernah suatu ketika saat lebaran saya lihat anak itu mengendarai motor besar entah milik siapa. Saya bertanya ke bapak saya, apakah beliau mengajarinya? Beliau jawab, tidak. Saya kemudian bertanya kepada adik edua saya yang laki-laki apakah dia mengajarinya? Ternyata tidak juga. Lalu siapa yang mengajarinya? Pertanyaan itu kemudian terjawab saat lebaran ada serombongan tamu tak dikenal datang. Mereka bertampang sangar, badan mereka tingggi besar dan tampak seperti preman pasar. Namun ternyata mereka sangat ramah dan bertanya, “Anna ada pak?”
Ternyata mereka teman-teman Anna, dan mereka itu adalah pekerja bangunan yang sedang mengerjakan proyek pembangunan perumahan sebelah kampung. Jadi ceritanya, Anna setiap pulang ke sekolah suka mengunjungi mereka dan ngobrol hangat. Sesuatu yang sangat tak lazim dilakukan anak kelas 5 SD. Perempuan pula.
Dan motor besar itu adalah kepunyaan mereka dan merekalah yang selama ini mengajari Anna mengendarainya. Latar belakangnya karena mereka suka minta tolong Anna untuk membelikan makanan atau minuman, dan mereka meminta Anna agar memakai motor itu kalau mau mondar-mandir.
Tak cukup sampai disitu. Saat SMP, adik saya yang kedua pulang dari sekolah Anna dalam keadaan marah-marah. Sambil marah dia bilang, “Lain kali kalau Anna belum juara 1 aku gak sudi engambilkan rapornya lagi! Malu-maluin saja!”
Usut punya usut ternyata dia sempat diwejangi wali kelas Anna di depan kelas. Dia diceramahi yang isinya kelakuan buruk Anna di sekolah selama satu smester itu. Bayangkan saja anak baru kelas satu tapi sudah berani menantang senior-seniornya di kelas dua dan tiga. Ceritanya dia sempat dilabrak anak kelas tiga di kelasnya, diancam, “Kamu itu masih baru disini! Gak usah macam-macam”. Tapi dasar anak bengal, bukannya takut atas ancaman itu, dia malah menantang anak-anak kelas tiga itu untuk duel di luar. Saat duel tak satupun dari mereka yang menang melawannya. Semuanya keok dan Anna pun jadi disegani di sekolah. Kelas dua dan kelas tiga semua takut tak ada yang berani melawannya.
Saat dia ditembak teman laki-lakinya di depan teman satu genknya, dia jadi malu dan sempat bersumpah serapah mengeluarkan nama-nama anggota kebun binatang. Gurunya pun sampai geleng-geleng kepala melihatnya.
Saat ujian smester juga berulah. Seumur-umur sekolah saya tak pernah menemukan kejadian serupa. Biasanya saat ujian kita diberi nomer urut ujian yang menunjukkan dimana tempat duduk dan kelas kita kan? Tapi tidak berlaku baginya. Dia tidak menempati kelas yang seharusnya. Dia berpindah-pindah kelas sesuai mood. Kalau sedang cocok sama teman yang di kelas itu maka dia akan pindah ke tempatnya. Gurunya sampai hafal, jika di absensi kelas dia dipanggil tak ada, gurunya tak akan berpikir bahwa Anna tidak masuk. Guru-gurunya akan berpikir, “Pasti pindah ke kelas lain!” dan ternyata memang benar ketemu di kelas lain.
Sampai suatu saat bapak tiba-tiba datang ke Malang dan curhat tentang Anna. Selama itu beliau menyembunyikan berbagai masalah besar terkait Anna. Dan saat itulah puncaknya. Anna hilang selama 2 minggu. Pihak keluarga mencari kemana-mana, pihak sekolah pun turut mencarinya. Bahkan sampai melibatkan kepolisian segala. Tetap tak ditemukan.
Jadinya, pihak sekolah sudah angkat tangan dan berniat mengeluarkannya dari sekolah. Bapak hanya bisa pasrah saat itu.
Setelah dua minggu Ibu bertemu dengan tetangga yang baru pulang dari Semarang. Tetangga itu bilang ke ibu, “Lho Min, tadi aku ketemu Anna di Ungaran.”
Ibu heran dan bertanya, “Iya kah? Dia mau kemana Budhe?”
Tetangga itu menjawab, “Bukan dia mau kemana, tapi justru dia yang jadi kenek bis Solo-Semarang yang aku naiki tadi.”
Ibu sempat syok ternyata Anna hilang dua minggu itu dia jadi kenek bis Solo-Semarang dan bahkan sempat menjadi kenek angkot jurusan Ampel. Dia juga sempat mengemudikan beberapa bis dan truk angkut. Ibu sempat kepikiran terus terhadap anak ini sampai sakit-sakitan. Tapi keluarga besar selalu menasehati agar sabar. Mereka berkata, “Yasudah gapapa. Punya anak empat, yang dua kalem dan yang dua bengal ya wajar saja. Komplit-komplinya dunia lah. Jagan dipikir terlalu berat nanti kamu jadi sakit. Santai saja sambil didoakan. Insya Allah kalau sudah waktunya juga sadar sendiri.”
Saat mendengar kabar itu saya sangat sedih. Sedih karena memikirkan perasaan orangtua dan sedih ternyata adik perempuan saya satu-satunya bisa berperilaku seperti itu. Perilaku yang sangat jauh dari harapan saya selama ini yang jauh darinya. Mungkin perlu diketahui bahwa di balik alasan mengapa saya membuat kartun-kartun muslimah Kawanimut itu, salah satu impian terbesarnya adalah: Suatu ketika adik perempuan saya akan berkepribadian seperti muslimah yang saya gambarkan. Atau paling tidak, bisa dimulai dengan berhijab seperti kartun muslimah yang saya tampilkan.
Namun sempat seolah menemui jalan buntu. Anak itu benar-benar semakin tidak terkendali. Dilembuti tidak bisa, keras pun juga tidak bisa. Pergaulan semakin tidak benar, keluar dari sekolah, menganggur dan keluyuran kemana-mana. Semula saya dan keluarga masih sabar dan berharap Insya Allah ke depannya bisa membaik. Saya selalu lembut menasehatinya dan selalu menguatkannya ketika dia ada masalah entah dengan orang lain atau dengan internal keluarga.
Itu bertepatan dengan saat dia mengikuti grup Punk di kota kami. Komunitas anti kemapanan yang sampai saat ini saya masih belum bisa menerima cara hidup mereka. Belum paham sepenuhnya terhadap apa mau mereka.
Saat mengikuti komunitas itu Anna jadi semakin beringas dan semakin membangkang. Penampilan awut-awutan, bau tidak karuan, tak teratur dalam keseharian dan semakin acak-acakan.
Usaha untuk mengendalikan pergaulannya pun dilakukan, namun ibarat kuda liar yang semakin dikekang semakin berontak, seperti itulah anaknya. Dia bahkan sudah berani mencuri uang bapak atau uang kakaknya yang kedua untuk hal-hal yang tidak jelas. Dan yang membuat saya sangat sedih adalah, dia mulai berani kepada ibu, bukan hanya berani membentak, namun sudah main tangan ke ibu jika dinasehati. Berani memukul maupun menampar di luar pengetahuan saya. Saya sudah tak bisa terima jika sudah ke tahap itu.
Saya sampai mengultimatum anak itu, bahwa selamanya saya tidak akan pernah menemuinya lagi, tak akan melihat wajahnya lagi. Bahkan hanya ada dua pilihan, saya akan menemuinya lagi ketika akhirnya dia bertobat dengan kesungguhannya, atau ketika dia mati dengan kesesatannya. Sudah sampai segitu marahnya saya padanya saat itu.

Saya menduga, pergaulan dan teman-temannya lah yang memberinya pengaruh buruk. Tapi semakin diupayakan menjauhkan mereka darinya, malah semakin bandel dan menjadi-jadi. Sangking gregetan, saya sampai berandai-andai buat membinasakan teman-temannya itu.

Kami 4 bersaudara, 3 laki-laki 1 perempuan. Yang 3 laki-laki semuanya jadi anak yg baik gak bermasalah, hanya 1 yang bermasalah dan malah yang perempuan.

Tidak ada orang yang ia segani, semuanya dilawan. Agak mendingan ketika saya ada di rumah, karena dia tak akan berani bertindak seperti biasanya jika ada saya. Agak segan. Namun jika saya tak ada, dia akan kembali bertingkah. Saya sempat yakin bahwa mungkin hanya saya yang bisa mengubahnya, karena dia masih ada sedikit segan kepada saya.

Saya berusaha lembut padanya dan senantiasa berdoa, namun sepertinya belum diberikan hasil. Dan akhirnya muncul statement ultimatum itu. Bahkan sempat terfikir untuk menjauhkan dia dari keluarga. Mungkin dengan membuatnya merantau atau kasarnya membuatnya minggat. Dan jangan kembali sebelum taubat.

Saya tak ingin ibu saya tersakiti hatinya tiap hari. Namun ternyata ibu malah tidak mau. Kata beliau, seperti apapun, seorang ibu ingin tetap berkumpul dengan anak-anaknya, tak ada kata memisahkan hubungan meskipun sementara.
Saya sempat bertanya-tanya lagi, apakah sosok Mas Gagah itu memang ada di dunia ini? Apakah ada figur yang begitu sabar dan elegan dalam mendakwahi adiknya seperti dia? Saya sempat ragu karena saya sendiri sudah hampir kehilangan kesabaran menghadapi adik saya. Mana mungkin saya bisa menjadi Mas Gagah jika keadaan seperti itu?
Pada akhirnya hanya bisa berdoa dan ikhtiar semampunya. Saling menguatkan di antara anggota keluarga. Sambil jalan lah pikir saya saat itu. Saya jadi menyadari bahwa saya memang tak bisa memaksakan kehendak melawan kuasa-Nya.
Semua akan indah pada waktunya. Ituah keyakinan saya.
Saya tetap berusaha istiqomah menyebarkan pesan melalui kartun-kartun muslimah Kawanimut. Sedikit-sedikit namun pasti. Saya berharap Anna juga melihatnya karena salah satu sasaran saya adalah dia. Dan ternyata dia memang biasa memantau kegiatan saya di berbagai media sosial.
Dia sekarang bekerja sebagai sopir truk angkut kayu Jogja-Magelang. Meskipun perempuan, dia memang anak yang kuat fisik dan mentalnya. Dia tegar. Bahkan sangat tegar. Berbagai persoalan hidup pernah dia alami, berbagai jalan hidup juga pernah dia lalui. Dan saya hanya bisa mendoakannya agar dia selalu sehat dan dilindungi.
Saya berharap hidayah itu segera datang padanya entah melalui jalan lain atau melalui saya. Dan Alhamdulillah hasil tak pernah menghianati ikhtiar karena Allah tidak pernah mengabaikan doa dan usaha hamba-Nya. Sesuai harapan saya, Anna rajin memperhatikan pesan-pesan dan contoh-contoh yag saya sampaikan di berbagai media sosial saya, mempelajari sedikit demi sedikit dan ada pula yang mulai diamalkan. Bahkan adab dalam pergaulan pun mulai dia contoh seperti saat tema-teman saya datang beberapa waktu lalu. Dia tahu bahwa saya tak bersalaman dengan yang bukan mahram, dan dia pun menirunya dengan tidak bersalaman dengan teman-teman saya yang laki-laki.



Dia sudah mulai berubah. Berubah lebih baik tentunya. Tak langsung total seideal di kisah cerpen, namun pelan-pelan. Dan saya sudah sangat bersyukur karenanya. Bahwa adik perempuan saya sudah mulai dewasa pemikirannya, sudah menjadi anak yang sayang kepada orangtuanya, sudah tak keluyuran seperti sebelumnya dan bahkan sudah mulai telaten memakai jilbab dan gamis pemberian saya. Belum sempurna karena terkadang masih “kumat” kebiasaannya. Saya maklum. Bukan perkara mudah untuk cepat berubah. Saya berdoa semoga dia senantiasa istiqomah, belajar menjadi lebih baik sampai kemudian menjadi yang terbaik.


Dan pada fase ini saya jadi mengulangi lagi pertanyaan saya sebelumnya, apakah ada sosok yang seperti Mas Gagah di dunia ini? Jawabnya, ada dan yakinlah bahwa di luar sana ada begitu banyak Mas Gagah lain yang berjuang dengan cara masing-masing.
Apakah saya harus pergi dahulu seperti Mas Gagah agar adik perempuan saya juga mendapat hidayah? Jawabnya, tidak harus, karena saya masih bisa mendampingi dan mengawal dia menuju kesempurnaan akhlaknya.
Apakah saya harus mati dahulu agar adik perempuan saya mendapatkan kesadaran sepenuhya? Jawabnya, tidak harus, karena datangnya hidayah tak selalu diplot dengan kisah yang sama. Dan Alhamdulillah Allah Maha Pemurah dimana Dia masih memberi saya jatah umur dengan segala anugeran-Nya.
Apakah saya yang cungkring ini juga pantas disebut Mas Gagah? Jawabannya ada di adik saya saat dia menyadari bahwa kakaknya sangat mencintainya dengan segala doa dan ikhtiarnya.
Dahsyat kan efek hikmah cerita yang disuguhkan dalam kisah Ketika Mas Gagah Pergi?
Kini kisah itu diwujudkan secara visual dalam bentuk film. Pembuatannya tak main-main. Aktor dan aktris pemeran utamanya pun dipilihkan yang masih gress dan ideal sesuai karakter tokoh cerita. Alur dan isi ceritanya diusahakan sama persis tanpa keluar dari idealisme aslinya. Bahkan penulisnya rela membatalkan berbagai kontrak dengan beberapa production house demi mempertahankannya.



Istimewanya lagi, dana pembuatannya berasal dari patungan bersama dan itu tak pernah terjadi di proses pembuatan film-film sebelumnya. Ibarat dari kita untuk dunia, sebagian besar hasil dari film ini nantinya juga akan digunakan untuk kepentingan sosial. Seperti untuk membantu pendidikan anak-anak Palestina, Pendidikan anak-anak Indonesia Timur, dan untuk penghijauan.
Jadi berlipat amalnya ketika nonton film ini. Bisa mendukung karya anak bangsa yang mendidik sekaligus manfaat, bisa turut melestarikan lingkungan hidup yang kuat dan bisa berdedekah untuk kepentingan ummat.
Jadi apakah masih ragu untuk menonton filmnya di hari pertama?

Catat ya, mulai tanggal 21 Januari 2016.





2 komentar: