Rabu, 20 Januari 2016

Ketika Mas Gagah (Tak Harus) Pergi






Detak waktu seakan enggan tuk bertambah..
Menemani gelisahku di malam ini..
Benarkah Tuhan ia kini telah pergi..

Lagu tema film “Ketika Mas Gagah Pergi” mengalun manis di telinga. Salah satu penanda bahwa kisah legendaris itu telah rampung dan siap dinikmati para “Pemuja”nya. Bagaimana tidak legendaris ketika begitu banyak orang memperoleh jalan hidayah karenanya. Termasuk diri saya sendiri yang juga memperoleh pencerahan dari kisah yang begitu mempesona.

Tapi ada satu hal yang sempat mengganjal di benak saya. Apakah orang seperti saya bisa jadi tegar dan bijak seperti Mas Gagah yang digambarkan dalam cerpen itu? Yang bisa mendakwahi adiknya sendiri dengan begitu lembut dan bijaksana karena saya sendiri juga memiliki masalah yang hampir sama. Dan masalah itu adalah adik perempuan saya yang bandel, pembangkang dan suka membuat masalah dimana-mana. Bahkan kalau boleh dikata, mungkin jauh lebih parah dari tokoh bernama Gita.

Terkadang sempat bertanya, apakah saya harus pergi dahulu seperti Mas Gagah agar adik perempuan saya juga mendapat hidayah? Apakah saya harus mati dahulu agar adik perempuan saya mendapatkan kesadaran sepenuhya?