Selasa, 18 Agustus 2015

Having Fun with our Grandma

Kartun Nenek Kawanimut


17 Agustus kali ini menjadi perayaan kemerdekaan yang istimewa buatku, buat kami. Perayaan yang identik dengan upacara bendera, mengenang jasa pahlawan, dan lomba-lomba, kali ini kami rayakan dengan cara lain. Istimewa juga tentunya. Istimewa bukan hanya karena angkanya unik dimana Dirgahayu ke-70 ini berasal dari penjumlahan angka 17+8+45, tapi juga karena kami merayakannya bersama salah satu pahlawan tanpa tanda jasa kami. Grandma.

Bermula dari bongkar-bongkar album foto di FB. Tiba-tiba menemukan foto Grandma, salah satu dosen senior kami yang sosoknya begitu berkesan di hati para mahasiswanya. Nama asli beliau adalaj Dr. Roembilin Soepadi tapi pami memanggilnya Grandma karena umur beliau memang sudah 89 tahun. Tapi siapa mengira jika beliau sudah berumur sekian karena masih energik dan tak kalah dari anak muda jaman sekarang. Sebenarnya beliau sudah lama pensiun, tapi semangat mengajar untuk mengamalkan ilmunya sungguh luar biasa. Jadi sampai umur 80an pun beliau tetap mengajar di beberapa universitas.

Beliau sosok guru yang keras, galak, namun tegas. Di kelas super killer dan nilai ujian kami semua jeblok dan jarang yang bagus. Nilai C+, C, D+, D bahkan E sudah lazim di kelas beliau. Bahkan sampai ada yang mengulang mata kuliahnya beberapa kali. Itu semua tak lain tak bukan karena standar dan idealisme beliau memang tinggi. Dan anehnya itu semua sama sekali tidak membuat kami benci terhadap beliau. Justru semakin kangen.



Beliau membuat kami menyadari bahwa ilmu kami masih sangat sedikit dan kualitas analisa kami masih sangat rendah. Dari omelan-omelan beliau, kami jadi terpacu untuk lebih maju dan semangat mengembangkan diri. Belajar terus sampai kapanpun karena belajar itu tidak mengenal kata "Terlambat". Buktinya beliau yang sudah berumur saja sampai sekarang masih meluangkan waktu senggangnya untuk membaca dan belajar. Semangat mengajar dan berbagi ilmunya pun patut diacungi jempol, bukan hanya satu jempol tapi banyak jempol. Bahkan di sela-sela waktu kegiatan beliau yang cukup padat untuk orang seumuran beliau, beliau pernah menawarkan les Bahasa Belanda kepada kami. Gratis malahan.

Itulah mengapa akhirnya kami rencanakan untuk mengunjungi beliau. Pilihan jatuh pada 17 Agustus ini. Harinya pas karena teman-teman juga sedang libur kerja atau kuliah. Jadinya kami ber-7, lebih sedikit dari rencana sebelumnya karena beberapa orang ada agenda mendadak yang tak bisa ditinggal. 7 orang itu terdiri dari aku sendiri, Anang Tri, Farah, suami Farah, Sharlene, Getha dan Puput.

Kami janjian di sebuah kampus swasta dekat rumahnya Grandma dan kemudian bersama-sama menuju rumah beliau. Saat memasuki pagar halaman, kami disambut suasana rumah gaya kolonial yang asri dan klasik. Sempat kulihat ada seorang ibu “sepuh” keluar dan memperhatikan kami dari pintu ruang tamu. Bukan grandma, pikirku. Ibu itu masuk dan setelahnya keluarlah Grandma. Sosok yang kami rindukan itu tergopoh berjalan ke arah kami sambil bergurau-tanya, “Who are you actually?” sambil tersenyum. Kami pun menjawab “Tentu saja your students Grandma”. Kemudian kami tertawa dan beliau menyambut kami dengan hangat. Kami salami dan kami cium tangan “ringkih” beliau dengan takzim. Bahkan rasanya ingin menangis karena haru akhirnya bisa bertemu.

Ternyata beliau sedang ada tamu juga. Ibu-ibu “sepuh” sebaya beliau yang ternyata orang-orang cerdas semua dengan gelar Doktor dan Profesor. Kami pun diminta ke ruang dalam saja agar lebih santai, kata beliau. Seperti biasa sambil menunggu beliau selesai dengan tamu-tamunya, kami foto-foto selfie dulu di rumah antik Grandma. Tanpa sadar ternyata tempat kami selfie itu adalah tempat sholat beliau. Pelanggaran memang.

Begitu keperluan beliau dengan tamu-tamunya usai, beliau langsung membaur dengan kami. Langsung “riweh” dengan ini-itu. Beliau bilang tidak sempat menyiapkan apa-apa dan berkata, “Bagus sekali kalian kesini bawa makanan sendiri” sambil menunjuk kue dan buah yang kami bawa. “Ayo sini duduk di sini saja” beliau meminta kami pindah ke meja makan saja daripada lesehan di tempat sholat.

“Itu makanan kalian bawa buat dimakan bersama kan? Ayo segera disiapkan, itu buahnya dipotong, kuenya dipotong” Kata beliau sambil menyiapkan pisau kue. Beliau kesulitan memotong kue yang masih dalam kemasan plastik, akhirnya aku bantu memotongkan. Pantas saja beliau kesulitan, aku saja kesulitan memotongnya karena pisaunya pisau kue tart, sementara kue yang kami bawa itu lebih tepat disebut “roti”. Jadinya alot.

Grandma masuk ke dapur dan kembali dengan pisau daging. Katanya untuk memotong buah. Tapi ya memang bisa untuk memotong buah.

Setelah semuanya siap, Grandma meminta Anang Tri agar memimpin doa terlebih dahulu sebelum makan bersama. Habis itu kami makan bersama hidangan yang ada. Ada apel, pisang, roti coklat keju, kastangel, biskuit dan sebagainya. Sambil makan, kami juga asyik mendengarkan Grandma bercerita dengan gaya khasnya yang ekspresif dan penuh celetukan renyah.

Grandma bercerita banyak hal ke kami. Seperti biasa, ada banyak sisi idealisme yang bisa beliau tawarkan ke kami dalam setiap kisah yang beliau tuturkan. Di antaranya, beliau berpesan agar jangan sekali-kali kami meninggalkan Tuhan, selalu berhati-hati dalam memilih pasangan beserta segala konsekuensinya, pesan agar kami menjadi generasi pemimpin yang memberi contoh kebaikan serta menularkannya ke orang lain, dan pesan agar kami mampu menjadi generasi penerus yang mampu memperbaiki negeri demi anak cucu kelak.

Dari cerita beliau kami baru tahu ternyata beliau juga berteman dengan penulis legendaris Indonesia NH. Dhini. Beliau menceritakan kisah hidup NH. Dhini sebagai salah satu potret pernikahan beda bangsa. Grandma sendiri berpendapat kurang setuju karena potensial bermasalah meskipun tetap percaya bahwa tidak semua demikian.

Cerita berlanjut dengan potensi penerapan teknologi tepat guna di ranah transportasi kita agar semakin hemat energi. Dimana kemungkinan 10 tahun ke depan akan ada banyak rongsokan mobil teknologi lama yang tak bisa dipakai lagi karena penerapan teknologi baru.

Berbicara tentang rongsokan mobil akhirnya merembet ke karakter orang madura yang suka merombengkan besi tua dan cerita almarhum Engkong suami Grandma yang menjual mobil antiknya seharga 5 juta saja. Grandma bilang beliau tidak bisa menyetir mobil karena Engkong melarang grandma belajar menyetir. Menurut Engkong grandma itu pemarah dan tidak bisa mengendalikan emosi. Takutnya nanti di jalan ugal-ugalan, jika disalib mobil lain, nanti grandma balas nyalib. Kamu pun tertawa terbahak mendengarkan penuturan beliau.

Grandma juga mengeluhkan carut-marutnya negeri ini dengan segala permasalahannya yang pelik. Beliau menyayangkan para pejabat korup yang menjual banyak aset negara ke asing, perusakan lingkungan dimana-mana, tidak meratanya pembangunan di seluruh daerah dan potensi ke depan Indonesia akan dijajah asing dalam berbagai bidang baik ekonomi, politik, bahkan sosial. Yang paling beliau rasakan saat ini adalah naiknya harga-harga kebutuhan pokok.

Alhamdulillah seorang Grandma yang dulu sempat kami kira bergaya hidup parlente, ternyata begitu bersahaja. Tempe dan sayuran murah menjadi pilihan menu beliau setiap hari. Kadang juga ingin makan ikan segar, tapi ikan segar harganya tidak terjangkau menurut beliau. Kata beliau, kita ini negeri yang cantik dan kaya, dikelilingi laut dan sudah pasti banyak ikannya. Tapi ironisnya yang bisa terjangkau untuk dibeli hanya ikan pindang asin yang entah sudah berapa lama disimpannya. Ini berlaku juga untuk komoditas lain, dimana kita memiliki sumber daya alam yang kaya, tapi sampai saat ini kita belum mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Belum mampu memproduksi barang-barang sendiri dan masih berposisi sebagai pembeli. Kebanyakan faktor ekonomi masih dipegang oleh asing yang tentunya keuntungannya juga akan jatuh ke asing. Dan jangan dikira Grandma asal bicara. Bahkan beliau bercerita sambil mengungkapkan data.

Makanya, Grandma senang sekali ketika tahu ternyata kami juga membawakan bandeng Presto. Beliau bilang, “Nah ini dia bisa buat lauk nanti malam”. Bersahaja sekali Grandma ini. Apa adanya dan sangat menghargai pemberian orang.

Grandma bilang beliau pernah kehabisan uang saat menjelang lebaran. Padahal setiap lebaran beliau biasanya memberi angpau kepada cucu-cucunya, bingkisan untuk pembantu dan orang-orang sekitarnya. Saat itu sedang ngetrend tanaman gelombang cinta yang jadi mahal semahal batu akik sekarang. Beliau punya 3 pohon ternyata. Lalu beliau bertanya kepada tetangganya apakah tidak punya kenalan pengusaha Tionghoa yang berminat. Akhirnya dapat. Pengusaha tersebut mendatanginya dan bertanya, "Berapa ini Bu?" Grandma asal jawab, "Ya 3 juta lah" dan ternyata langsung dibayar. Grandma sempat menyesal, kenapa tadi tak bilang 4 juta atau 5 juta?

Tapi tak apa lah katanya. Saat itu 3 juta itu nilainya masih besar. Beliau pakai 1,5 juta untuk ke pasar besar dan belanja sendiri untuk bingkisan yang mau diberikan ke orang-orang. Bawaan beliau banyak dan uangnya tinggal 13ribu di dompet. Rencananya 13ribu itu yang 3ribu untuk naik angkot pulang, dam 10ribu untuk membelikan Engkong lauk yang enak katanya. Tapi ternyata dompet isi 13ribu itu dicopet. Beliau kejar copetnya dan teriak "Kembalikan dompetku!" Berani sekali beliau. "Aku ini guru, sudah tua begini kok kamu tega mengambil dompetku, kembalikan gak? Kalau gak nanti aku teriak copet kamu dihajar orang satu pasar mau?"

Akhirnya copetnya mengambil 10ribu di dompet itu dan melemparkan sisanya ke grandma. Tinggal 3ribu dan itupun receh. Berjatuhan di selokan dan grandma punguti satu-satu. Trenyuh sekali mendengar cerita yang ini. Kebayang betapa epic dan dramatisnya ketika tukang becak bilang, "Yaudah gapapa bu biarin saja" Grandma bilang, "Tidak bisa mas, ini uangku sendiri kok"
Soalnya grandma juga kepikiran kalau uang 3ribu itu tak ada, beliau mau pulang naik angkot tak ada uang lagi. Akhirnya bisa pulang dengan uang itu meskipun rencana membelikan lauk yang enak buat engkong jadi batal. Engkong harus terima dengan lauk tempe dan telur ceplok saja kata beliau. Bersahaja sekali kah?

Beliau juga bercerita tahun 59 ketika Jawa masih subur dan dipenuhi hutan dan sawah. Sebenarnya potensial sekali jika dikembangkan sebagai area pertanian yang subur dan mencapai target swasembada. Tapi kini beliau miris karena lahan pertanian yang subur itu justru habis termakan areal pabrik, ruko dan perumahan. Lalu anak cucu nanti mau disuruh makan apa katanya. Mengapa malah menarik investor asing agar investasi ke Jawa padahal Jawa sudah padat. Mengapa tidak di Kalimantan dan daerah luar Jawa lainnya. Usulan memindah ibu kota ke Palangkaraya sangat bagus menurut beliau. Pertama, untuk mengurangi kepadatan pulau jawa, kedua pemerataan pembangunan, ketiga menjaga perbatasan dengan negara tetangga Malaysia dan ke empat menjaga hutan lindung kita dari penggundulan.

Tapi beliau juga masih berdoa semoga saja pemerintan, para pemimpin negeri saat ini bisa lebih bijak dan peduli dengan nasib rakyat dan negeri ini tidak hancur begitu saja oleh tangan kita sendiri. Bahkan beliau sempat menghubungi mahasiswa-mahasiswanya, sanak famili dan keluarganya agar berdoa bersama untuk negeri ini di ibadah malamnya.

Ada hal lain yang ternyata baru kami ketahui dari Grandma. Ternyata beliau juga masih rutin memberikan sumbangan 100 poundsterling ke universitas almamaternya di Inggris. Kata beliau sumbangan itu diminta dari semua alumni universitas itu dan berguna untuk beasiswa mahasiswa-mahasiswa generasi berikutnya. Dan herannya, universitas tempat Grandma kuliah dulu masih menyimpan data-data beliau padahal sudah hampir 50tahuan berlalu. Manajemennya sangat rapi dan terstruktur. Kata beliau, “Ya, harta itu memangnya mau kita pakai buat apa sih kalau bukan untuk berbagi? Kan harta juga gak akan dibawa mati. Dengan berbagi justru kita jadi happy kok dan gak membebani pikiran”.

Tiba-tiba beliau berujar, “Oh iya, grandma habis ini mau pindah lho ya. Jadi rencananya rumah ini mau grandma jual.”
“Lho mau pindah kemana grandma?” Tanya kami terkejut.
“Pindah ke Jawa Tengah. Grandpa kan sudah dimakamkan disana. Lha disini grandma mau ngapain? Nunggu apa? Kayak grandma gini kan tinggal menunggu mati.”
Deg! Kami terkejut. “Jangan gitu donk grandma...”
“Lho iya, seumuran grandma gini kan sebenarnya tinggal menunggu waktu. Penerusnya ya kalian ini. Makanya kalian ke depan grandma pesan, jangan jadi pejabat, tapi jadilah pemimpin. Jadilah pemimpin yang memberikan contoh kebaikan bagi yang lainnya. Kalau pemimpin itu baik, maka yang lainnya tentu akan ngikut begitu saja.”
“Iya, doakan kami Grandma”.

Beliau sempat berhenti bercerita karena sadar sedang aku videokan, tapi kemudian lanjut lagi setelah memintaku untuk tidak memvideokannya lagi. Malu katanya nenek-nenek pakai difoto segala. Obrolan pun berlanjut ke nostalgia semasa kuliah. Dimana Grandma menjadi salah satu tokoh utama dalam cerita kami. Sebagai dosen super killer.

Saat itu, setiap mau mulai perkuliahan selalu dimulai dengan marah-marah, tegang sekali. Sebabnya tak lain tak bukan karena kami memang bandel sekali, suka memilih tempat duduk di belakang, di tengah atau yang "nyelempit-nyelempit" agar bisa “ngerumpi” atau tidur kalau lagi bosan dengan pelajarannya. Kata beliau,"Mas, Mbak kenapa duduk di belakang?! Grandma gak nggigit, ayo ke depan sini!" Sambil menarik kursi-kursi kami ke depan. Kami pasrah aja.

Kalau sudah tertata rapih kelasnya, beliau baru salam, "Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarakatuh"
Dan kami menjawab salamnya sambil meringis dengan perasaan masih berdebar-debar.

Jika dikenang-kenang kembali saat itu suasana kelas selalu "wow" dalam tanda kutip. Di sisi lain kami tegang setengah mati karena beliau memang super killer, tapi di sisi lain kami selalu menikmati intermezo-intermezo yang beliau sajikan. Entah tiba-tiba beliau nyeletuk mengeluarkan lelucon, menyanyi dan mendongeng dengan mimik yang sangat ekspresif. Bahkan ketika yang dibahas itu tokoh-tokoh berupa binatang sekalipun akan beliau tambahi panggilan Mas atau Mbak , misalnya Mas Kucing dan Mbak Kelinci.

Kalau di kelas, rasanya seperti sedang didongengin oleh nenek kami sendiri. Contohnya saat menceritakan tentang the lion ant atau dalam bahasa jawanya Undur-undur. Masih ingat waktu itu beliau bertanya,
"Pada tahu gak apa itu lion ant? Undur-udur, pada tahu ga?"
Sebagian dari kami ada yang tidak tahu apa itu undur-undur. Beliau kecewa dan bilang,
"Aduuuh Grandma gak suka deh anak-anak jaman sekarang pada gak tahu undur-undur, itu lho yang biasa hidup di pasir dan makan semut. Nah mas Undur-undur ini pagi-pagi sedang nunggu di rumahnya yang berbentuk lubang di pasir itu, eh tiba-tiba mas semut lewat dan tergelincir masuk di jebakan yang dibuat oleh mas undur-undur. Di sisi lain mas semut meronta-ronta minta tolong, eh mas undur-undur justru girang dan berkata 'Nah ini sarapanku' ".

Beliau bercerita dengan mimik wajah yang sangat ekspresif. Kebayang kan kalau kita sedang didongeni oleh nenek kita?
Meskipun terkadang suasana yang melenakan itu tiba-tiba berubah tegang lagi ketika beliau mulai mengeluarkan telunjuk mautnya. Kebanyakan tak bisa berkutik.

Berbagai kejadian yang saat itu kami anggab menegangkan pun ketika sekarang menjadi kenangan malah jadi lucu. Contoh saat itu salah satu teman ada yang datang telat dan dimarah-marahi oleh Grandma, belum selesai marah-marahnya eh si Anang Tri masuk kelas, dan telat juga. Saat itu dia memang masih menjadi takmir masjid, jadi sebelum kuliah pasti harus bersih bersih dulu dan sering telat datang kuliahnya. Saat itu juga kemarahan Grandma beralih ke Anang,
Grandma tanya "Kenapa telat Mas?
Anang jawab "Anu.. Grandma I must clean..."
Belum selesai Anang menjawab langsung dipotong oleh Grandma,
"Clean the garden? Lain kali ya mas sebelum kuliah clean gardennya Grandma sekalian!"
Dan asli lucu sekali saat itu kami bisa tertawa terkikik sambil menutup mulut agar tidak terlihat oleh grandma.

Kemudian saat kuliah berlangsung dan beliau memberikan penjelasannya,Eko Wahyudi yang saat itu entah terpana atau bagaimana hanya diam saja dan tidak mencatat. Langsung ditegur keras, "Dipun serat Mas! Liyane nulis kok malah sedakep ae." (Ditulis Mas! Yang lain pada nulis kok malah bersedekap aja). Kelas pun berlanjut. Agus Tri Widodo yang memang berparas sayu pun tiba-tiba ditanya oleh Grandma, "Mas kamu pemakai ya?!" Agus pun gelagapan dan menampik tuduhan itu "Bukan Grandma"
Grandma pun mewanti-wanti kami semua yang ada di kelas, "Awas ya kalau ada yang makai Ganja! Grandma adukan langsung ke rektor, kalau perlu ke polisi. Generasi sekarang ini gampang sekali frustasi. Larinya langsung ke ganja!"

Masih nyambung dengan kejadian di atas, saat itu aku sedang ditunjuk dan harus mengeluarkan analisaku terhadap isi novel yang sedang kami bahas, beliau bertanya "Kamu belajar sehari berapa jam Mas?"
Aku jawab, "2 Jam, Grandma"
Grandma pun mendesah dan bilang, "Yah, Indonesia tanah airku, gini nih akibatnya, belajar cuma 2 jam. Yang 22 jam lainnya kamu pakai buat apa mas?"
Aku pun menjawab, "Ya buat istirahat, main, organisasi ..." belum selesai aku bicara beliau membentakku,
"Mulai sekarang kurangi waktu main dan organisasinya, berapa jam kamu pakai buat organisasi maas?"
Sambil takut-takut kujawab "5-6 jam-an, Grandma"
"Apa? 6 jam organisasi, dan 2 jam aja belajarnya? Bilang sama bos kamu itu di organisasi sapa namanya aku ga tau, minta waktu tugasmu dikurangi. Nanti alasan organisasi keluyuran malam-malam. Mau apa kamu? Kampanye partai? Partai biar kampanye sendiri, kamu punya tugasmu sendiri di sini! Mengko meneng-meneng, gak ngerti jebule opo coba? Dodolan Ganja (Nanti diam-diam gak ada yang tahu, ternyata apa coba? Ternyata jualan ganja)"

Teman-teman satu kelas langsung pada tertawa terbahak-bahak mendengarnya, dan aku nyengir sendiri menghadapi tuduhan itu. Kalau diingat-ingat lucu sekali kejadian itu. Malah rekaman kelas saat itu masih kusimpan sampai sekarang kalau teman-teman ada yang mau mengcopy.
Kembali ke perkuliahan, analisa beliau terhadap sastra pun sangat tajam dan jauh di luar jangkauan pemikiran kami. Makanya tak heran kalau nilai ujian kami banyak yang jelek. Jadi jangan harap bisa dapat nilai A. Paling banter dapat nilai B dan itupun sudah keajaiban dunia ke-8. Kebanyakan dapat nilai C+, C, D+ dan D bahkan E. Sekali lagi, karena standarisasi beliau sangat tinggi, ketat dan berorientasi ke kualitas yang tidak main-main. Tapi beliau pun tak akan segan memberikan nilai A jika memang mahasiswa itu benar-benar berkualitas.

Sebenarnya, saat pertemuan tadi kebanyakan aku yang bercerita nostalgia di atas. Dan tentunya dengan gaya yang ekspresif menirukan Grandma. Jadi kesempatanku untuk bercerita langsung di depan beliau. Saat melihat aku bercerita dengan gaya khas beliau, beliau berkomentar, “Oalah apa-apane Grandma ditiru kabeh. Cah edan iki.” ~Oalah, apa-apanya Grandma ditirukan semua. Anak edan~. Dan kami pun tertawa bersama-sama mengingat semua kejadian itu.

Di akhir pertemuan, Grandma mewanti-wanti kami dengan pesan-pesan berharga beliau sebelumnya. Di akhir kata beliau bilang, “Ya, grandma senang kalian mau datang kesini mengunjungi grandma, jadi 17 Agustus kali ini menjadi istimewa bersama kalian”.

“Piye iki sing diemut-emut kok sing elek-elek soko grandma, sing apik-api ae sing diemut” ~Gimana ini yang diingat dari grandma kok yang jelek-jelek saja, yang bagus-bagus saja yang diingat.”
Kami pun menyangkal, “Lho itu bukan hal yang jelek kok Grandma. Itu justru menjadi ciri khas yang tak bisa kami lupakan dan membuat kami semakin kangen sama Grandma. Kalau kami anggab itu hal buruk tentu kami malah dendam dan gak akan datang kesini mengunjungi Grandma. Kan 17 Agustus ini kami rayakan dengan mengunjungi pahlawan. Dan salah satu pahlawan itu adalah Grandma.”

Setelah itu kami pamit pulang. Tadinya sempat belum berani pamit dan masih sekedar berbisik-bisik. Tapi grandma peka sekali dan langsung tahu maksut kami. Beliau mempersilakan kalau mau pulang. Kami mengajak beliau berfoto-foto terlebih dahulu sebagai kenang-kenangan di rumah antiknya. Meskipun kami masih berharap suatu saat bisa berkumpul kembali disana sebelum beliau pindah ke Jawa Tengah. Sebelum pulang, kami amit tangan beliau dan menciuminya dengan takzim. Saat itulah haru yang tadinya sempat tertahan jadi tumpah. Jadi ingin menangis kembali.

Foto Grandma dan kami semua

Semoga Grandma selalu sehat dan diberi banyak keberkahan agar kami bisa dipertemukan kembali di kesempatan lain. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar